Kekerasan seksual kini telah berubah menjadi tindakan yang harus
diberantas dan menjadikan pelakunya sebagai musuh negara. Tidak hanya KOMNAS
Perempuan saja, bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
pun menjadikan kekerasan seksual sebagai issue
penting dalam programnya. Bahwa menuntut pelaku pelecehan seksual harus
mendapatkan hukuman yang setimpal.
Tapi apakah kekerasan seksual harus dilawan?
Saya, Bara Susanto, seorang lovolog dan pakar kecerdasan
seksual, dalam buku yang berjudul Sexual Intelligence – Basic for Relationship
Golas mengatakan jika “tidak ada kekerasan seksual yang harus dilawan jika kekerasan
itu tidak pernah terjadi”. Artinya kekerasan seksual ini (terutama pada wanita)
seharusnya bisa dihindari sejak awal. Tentu saja ketika potensi kekerasan itu
secara prefentif bisa dicegah.
Lalu mengapa para wanita tidak mengindarinya?
Hal ini memang berlaku sama secara universal. Bahwa selama
kaum perempuan (termasuk pria) tidak memiliki Sexual Intelligence, maka berbagai
model kekerasan seksual pun akan tetap terjadi. Disini saya mencoba
menyelesaikan masalah pada akar masalahnya, pada sebab awal, mengapa kekerasan
itu terjadi.
Dalam berbagai kasus - jika dilihat dari perilaku seksual - seringkali wanita-lah yang menempatkan diri
untuk menjadi korban yang paling potensial dalam berbagai kekerasan seksual.
Bahkan beberapa diantaranya – dalam konsisi tertentu – mereka ikhlas untuk menjadi
korban. Sebagian lagi tidak merasa telah sebagai korban atau selalu hidup dalam
lingkaran potensi kekerasan ini. Padahal sebenarnya mereka semua bisa
memutuskan untuk tidak menjadi korban dengan menghindari potensi kekerasan ini
sebelum kekerasan itu terjadi. Ini adalah tindakan prefentif yang lebih
bijaksana.
Dan jika mau, kondisi ini bisa dirubah dengan mudah jika para
wanita memiliki SI atau kecerdasan seksual ini. Sebuah kecerdasan yang mampu
memberikan pemahaman baru yang untuk perubahan perilaku yang lebih baik. Sebuah
kesadaran untuk melindungi dirinya dari potensi kekerasan seksual atau
menghindarinya sebelum terjadi kekerasan seksual yang tidak diinginkan.
Artinya daripada melawan kekerasan seksual pada perempuan, saya
lebih menyarankan untuk memberikan bekal kekuatan kepada wanita untuk
mengindarinya. Karena ketika melawan satu kekerasan seksual, minimal telah ada
satu wanita yang menjadi korban. Namun jika wanita memiliki kecerdasan seksual
untuk menghindari sejak awal, maka tidak setidaknya ada banyak wanita yang bisa
menghindari kekerasan seksual secara mandiri. Tentu saja mereka telah memiliki
sebuah kesadaran baru yang lebih baik.
Sexual Intelligence – yang dimaksud – adalah kemampuan untuk
memahami, melakukan dan menyelesaikan berbagai hal yang berhubungan dengan
proses sebab-akibat seks, seksual dan seksualitas yang melekat seumur hidup
berdasarkan tujuh kecerdasan seksual. Bahwa
ruang lingkup kekerasan seksual ada pada 3S, yaitu seks, seksual dan
seksualitas sebagai aktivitas yang selalu bersinggungan dengan hubungan antar
manusia selama 24 jam.
Kemampuan memahami berarti setiap wanita memahami batasan,
arah dan tujuan dari 3S dengan jelas berdasarkan 7 kecerdasan seksual untuk
membangun sebuah kesadaran baru. Salah satu fungsi kesadaran seksual ini adalah
untuk memahami potensi kekerasan seksual yang akan terjadi.
Kemampuan melakukan berbagai aktivitas 3S sebagai perilaku
seksual yang memikirkan hubungan sebab-akibatnya berdasarkan 7 kecerdasan
seksual. Salah satu fungsinya adalah membentuk pola perilaku (dilakukan dan
diterima) yang sesuai dengan pemahamannya dalam menghadapi potensi kekerasan
seksual.
Kemampuan menyelesaikan sebagai bentuk manajemen resiko atas
berbagai kejadian yang berhubungan dengan 3S. Manajemen resiko adalah
tanggungjawab dan solusi sebagai akibat dari perilaku seksual yang pernah
dilakukan atau diterima.
Misalnya, saat tanpa sengaja berada di sebuah pesta miras
dengan beberapa pria. Wanita ber-SI tentu akan memahami dengan cepat jika dia
berada ditempat yang salah yang kemudian bisa memprediksi potensi kekerasan
seksual atau pelecehan seksual yang akan didapatnya. Lalu bisa memutuskan untuk
segera keluar dari zona berbahaya ini. Sehingga tidak akan terjadi pelecehan
atau bahkan pemerkosaan yang tidak diinginkan.
Contoh ekstrim yang banyak terjadi adalah seorang wanita yang
ikhlas untuk “dijual” sebagai PSK oleh pasangan atau suaminya sendiri. Padahal
seharusnya, wanita tersebut memiliki banyak peluang untuk bisa menolak dan
tidak melakukan hal ini.
Jadi – maaf jika salah – saya berani mengatakan jika, “tidak
ada kekerasan seksual yang harus dilawan jika kekerasan itu tidak pernah
terjadi”. Tentu saja ketika potensi kekerasan itu secara prefentif bisa dicegah
oleh wanita yang memiliki Sexual Intelligence sebagai benteng penyelamatnya.
Baca juga :