Rabu, 15 November 2017

PEREMPUAN MELAWAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN SEXUAL INTELLIGENCE


Kekerasan seksual kini telah berubah menjadi tindakan yang harus diberantas dan menjadikan pelakunya sebagai musuh negara. Tidak hanya KOMNAS Perempuan saja, bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun menjadikan kekerasan seksual sebagai issue penting dalam programnya. Bahwa menuntut pelaku pelecehan seksual harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Tapi apakah kekerasan seksual harus dilawan?
Saya, Bara Susanto, seorang lovolog dan pakar kecerdasan seksual, dalam buku yang berjudul Sexual Intelligence – Basic for Relationship Golas mengatakan jika “tidak ada kekerasan seksual yang harus dilawan jika kekerasan itu tidak pernah terjadi”. Artinya kekerasan seksual ini (terutama pada wanita) seharusnya bisa dihindari sejak awal. Tentu saja ketika potensi kekerasan itu secara prefentif bisa dicegah.  
Lalu mengapa para wanita tidak mengindarinya?
Hal ini memang berlaku sama secara universal. Bahwa selama kaum perempuan (termasuk pria) tidak memiliki Sexual Intelligence, maka berbagai model kekerasan seksual pun akan tetap terjadi. Disini saya mencoba menyelesaikan masalah pada akar masalahnya, pada sebab awal, mengapa kekerasan itu terjadi.
Dalam berbagai kasus - jika dilihat dari perilaku seksual -  seringkali wanita-lah yang menempatkan diri untuk menjadi korban yang paling potensial dalam berbagai kekerasan seksual. Bahkan beberapa diantaranya – dalam konsisi tertentu – mereka ikhlas untuk menjadi korban. Sebagian lagi tidak merasa telah sebagai korban atau selalu hidup dalam lingkaran potensi kekerasan ini. Padahal sebenarnya mereka semua bisa memutuskan untuk tidak menjadi korban dengan menghindari potensi kekerasan ini sebelum kekerasan itu terjadi. Ini adalah tindakan prefentif yang lebih bijaksana.
Dan jika mau, kondisi ini bisa dirubah dengan mudah jika para wanita memiliki SI atau kecerdasan seksual ini. Sebuah kecerdasan yang mampu memberikan pemahaman baru yang untuk perubahan perilaku yang lebih baik. Sebuah kesadaran untuk melindungi dirinya dari potensi kekerasan seksual atau menghindarinya sebelum terjadi kekerasan seksual yang tidak diinginkan.
Artinya daripada melawan kekerasan seksual pada perempuan, saya lebih menyarankan untuk memberikan bekal kekuatan kepada wanita untuk mengindarinya. Karena ketika melawan satu kekerasan seksual, minimal telah ada satu wanita yang menjadi korban. Namun jika wanita memiliki kecerdasan seksual untuk menghindari sejak awal, maka tidak setidaknya ada banyak wanita yang bisa menghindari kekerasan seksual secara mandiri. Tentu saja mereka telah memiliki sebuah kesadaran baru yang lebih baik.  

Sexual Intelligence – yang dimaksud – adalah kemampuan untuk memahami, melakukan dan menyelesaikan berbagai hal yang berhubungan dengan proses sebab-akibat seks, seksual dan seksualitas yang melekat seumur hidup berdasarkan tujuh kecerdasan seksual.  Bahwa ruang lingkup kekerasan seksual ada pada 3S, yaitu seks, seksual dan seksualitas sebagai aktivitas yang selalu bersinggungan dengan hubungan antar manusia selama 24 jam.
Kemampuan memahami berarti setiap wanita memahami batasan, arah dan tujuan dari 3S dengan jelas berdasarkan 7 kecerdasan seksual untuk membangun sebuah kesadaran baru. Salah satu fungsi kesadaran seksual ini adalah untuk memahami potensi kekerasan seksual yang akan terjadi.
Kemampuan melakukan berbagai aktivitas 3S sebagai perilaku seksual yang memikirkan hubungan sebab-akibatnya berdasarkan 7 kecerdasan seksual. Salah satu fungsinya adalah membentuk pola perilaku (dilakukan dan diterima) yang sesuai dengan pemahamannya dalam menghadapi potensi kekerasan seksual.
Kemampuan menyelesaikan sebagai bentuk manajemen resiko atas berbagai kejadian yang berhubungan dengan 3S. Manajemen resiko adalah tanggungjawab dan solusi sebagai akibat dari perilaku seksual yang pernah dilakukan atau diterima.
Misalnya, saat tanpa sengaja berada di sebuah pesta miras dengan beberapa pria. Wanita ber-SI tentu akan memahami dengan cepat jika dia berada ditempat yang salah yang kemudian bisa memprediksi potensi kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang akan didapatnya. Lalu bisa memutuskan untuk segera keluar dari zona berbahaya ini. Sehingga tidak akan terjadi pelecehan atau bahkan pemerkosaan yang tidak diinginkan.
Contoh ekstrim yang banyak terjadi adalah seorang wanita yang ikhlas untuk “dijual” sebagai PSK oleh pasangan atau suaminya sendiri. Padahal seharusnya, wanita tersebut memiliki banyak peluang untuk bisa menolak dan tidak melakukan hal ini.
Jadi – maaf jika salah – saya berani mengatakan jika, “tidak ada kekerasan seksual yang harus dilawan jika kekerasan itu tidak pernah terjadi”. Tentu saja ketika potensi kekerasan itu secara prefentif bisa dicegah oleh wanita yang memiliki Sexual Intelligence sebagai benteng penyelamatnya.